Rabu, 29 Oktober 2008

Advertorial part II

Contoh Advertorial

PERS DAN KEMISKINAN

Bagi mereka yang ikut merayakan Hari Pers Nasional (9 Februari,
aslinya hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia 1946), tema yang
dipilih tahun ini adalah "Mewujudkan Pers Independen yang Berkualitas
untuk Memperjuangkan Kesejahteraan Bangsa".

Tema ini luar biasa. Ia bahkan bisa terbagi menjadi tiga tema besar.
Sudahkah pers di Indonesia "independen"? Telah berkualitaskah pers
kita? Betulkah pers kita telah memperjuangkan kesejahteraan bangsa?

Bagi ilmuwan yang senantiasa berfokus pada kaum terpinggirkan, tema
ketiga adalah puncak pencapaian pers. Untuk apa membanggakan "pers
independen"; apa hebatnya "pers berkualitas" jika ia tidak pernah
sungguh-sungguh memperjuangkan kesejahteraan bangsa?

Berbicara tentang rakyat miskin, Shipler, pemenang Pulitzer, yang
telah bekerja untuk New York Times 1966 sampai 1988, menyampaikan
rasa pesimisnya pada Columbia Journalism Review (Nov/Des 2005) di
bawah judul "Monkey See, Monkey Do". Artikel ini mencoba menyumbang
beberapa poin yang mungkin bisa menjadi sisi-sisi lain dari apa yang
sedang dibahas insan pers Indonesia pada HPN dengan memerhatikan
kegundahan Shipler dan berbagai hasil riset atau literatur lain.

Kebebasan siapa

Ada lima alasan bagaimana pers secara tidak sengaja bisa (antara lain
karena rutinitas) ikut dalam proses pemiskinan.

Pertama, tak banyak jurnalis yang berpikir, kebebasan pers sejatinya
bukan hanya kebebasan bagi insan pers untuk menulis atau menyiarkan.
Ia adalah juga kebebasan publik untuk menyuarakan pendapat! Jika
kebebasan dipahami relatif secara sepihak oleh insan pers, yang
selalu akan terbentuk adalah agenda media, bukan agenda publik (meski
batasannya selalu bisa diperdebatkan).

Kedua, media kita dalam masa transisi masih relatif terseret pusaran
market-driven press. Akibatnya pers amat tergantung pada "apa yang
disenangi pasar". Ia tidak sungguh-sungguh tampil sebagai issue-
driven press. Pers tidak konsisten memperjuangkan suatu isu sampai ia
memadai atau tuntas ditanggapi oleh pihak yang relevan dan
bertanggung jawab. Banjir besar Jakarta adalah salah satu contoh
nyata. Semua tahu ada peluang siklus lima tahunan. Namun, pers mana
yang mau terus nyinyir mengingatkan bahwa perhatian pemerintah pusat
dan pemerintah daerah amat belum memadai untuk mengantisipasinya?
Pers baru ramai lagi ketika banjir menghantam Jakarta, atau
ketika "rumah pers" sendiri diserbu banjir!

Ketiga, pers kita kadang terlihat belum mempunyai sebuah pemihakan
ideologis (jika tidak mau menyebutnya "idealisme") kepada apa yang
diyakini. Contohnya, dalam pilkada, media relatif tak pikir panjang
menerima semua iklan dari kandidat yang menghamburkan uang (dianggap
rezeki musiman), juga relatif tidak ngotot memperbaiki sistem pilkada
yang jelas terlihat mengarah ke politik kampanye dan politik uang
yang membahayakan demokrasi! Padahal media tahu, semakin banyak
kandidat menghamburkan uang beriklan di media, semakin besar setoran
yang akan dikejarnya jika terpilih dan semakin dekat ia pada kolusi,
korupsi dan nepotisme dengan uangnya sendiri atau para penyumbangnya!
Menolak iklan kandidat yang terindikasi korup sekali pun, atau
menolak kerja sama halaman-halaman dengan pemda yang cenderung
bersifat advertorial, adalah sesuatu yang "terlalu mewah" bagi
sebagian besar pers kita.

Alat pemiskin

Keempat, pemilik pers (bukan cuma di Indonesia) tampaknya sulit
berempati dengan kemiskinan meski dalam banyak biografi sebagian dari
mereka bangga menapak jalan sukses berangkat dari kemiskinan. Mereka
yang berlatar belakang saudagar kaya tentu lebih sulit lagi
memahaminya. Mungkin diperlukan semacam P4 (Pedoman Pengamatan dan
Penghayatan Perasaan orang miskin) bagi pemilik media meski ada juga
di antaranya yang memiliki kepedulian yang tulus.

Kelima, kondisi rating saat ini adalah alat yang secara tak langsung
memiskinkan penampilan pers. Sebab, utamanya, rating di Indonesia
tidak memiliki badan audit! Kejadian yang sama pernah menimpa Amerika
Serikat, 44 tahun lalu. Saat itu DPR AS menjadi amat skeptis terhadap
metodologi rating serta melaksanakan berbagai dengar-pendapat untuk
menyelidiki prosedurnya! Hasilnya, terbentuk the Electronic Media
Rating Council (EMRC) yang secara teratur mengontrol apakah performa
perusahaan rating sesuai dengan standar yang mereka tetapkan.

Audit terhadap rating akan memastikan klaim-klaim kebenaran selama
ini. Jika tidak, karya insan pers, terutama jurnalis TV, jarang masuk
ke jam-jam utama. Berpacu di jalur infotainment lebih terlihat
sebagai tempat persembunyian sementara yang mungkin tidak dikehendaki
insan pers sendiri.

Jelas, rating dibutuhkan sebagai sebuah kompas untuk memasuki hutan.
Saya lebih suka analogi susu yang diperlukan balita. Namun, jika susu
tidak steril, ia akan mengganggu pertumbuhan generasi mendatang.
Balita yang tumbuh dengan asupan yang tidak benar akan memiliki
kecerdasan bawaan, yang oleh Romo Benny Susetyo dan rekan-rekan
disebut sebagai "goblok permanen". Mengerikan bukan, sudah dibalut
kemiskinan, masih terancam tidak cerdas pula!

Tidak ada komentar: